psiaceh.or.id/ – DialoKlasika Kelompok Studi Kader (Klasika) dengan tema ‘Demokrasi Muka Dua’ kembali digelar. Dalam sesi kedua ini mengupas persoalan ‘Dimensi Etik Kekuasaan Dalam Konstitusi’ yang menghadirkan pembicara Praktisi Hukum (Penta Peturun) dan Akademisi Unila (Edi Siswanto).
Direktur Klasika Ahmad Mufid dalam sambutannya menyampaikan, DialoKlasika ini sengaja dihadirkan karena melihat realitas demokrasi yang mengalami banyak kemunduran dan tidak berjalan sebagaimana cita-cita reformasi.
“Dari kenyataan tersebut sekaligus bertepatan dengan pelaksanaan pesta demokrasi atau pemilihan umum, Klasika turut merayakannya dengan menghadirkan perbincangan-perbicangan demokrasi yang lebih substantif dan mendalam,” kata dia.
Penta Peturun memulai pemaparannya dengan sebuah sejarah etika dan hukum. Menurutnya sejak 1920 Indonesia telah menerapkan pemisahan antara etika dan hukum atau lebih dikenal dengan hukum positif.
Menurutnya, pemecahan antara etika dan hukum ini bermula dari pemisahan antara agama dan negara akibat sebuah perang yang terjadi di Italia tempo dulu. Singkatnya, kemudian menjadi hukum positif.
“Hukum positif ini memisahkan antara hukum dengan ekonomi, politik, sosial, sosialogi. Hukum kemudian berdiri sendiri, negara Indonesia pun akhirnya menganut hukum positifisme,” ujarnya.
Selain membicarakan dimensi etik dan hukum, dia pun turut menyoroti demokrasi Indonesia. Menurutnya partisipasi publik dalam negara demokrasi telah diatur. Namun aturan tentang partisipasi publik ini diabaikan dan hanya sekedar formalitas.
Dia menilai, menurunnya indeks Demokrasi dikarenakan minimnya partisipasi publik. Sementara demokrasi substantif mensyaratkan terdapat kebebasan untuk mengkritik kekuasan.
Sementara, Edi Siswanto dalam penyampaiannya mengatakan, dalam diri setiap manusia terdapat tiga sektor, yaitu Ontologi, Phatos dan Ethos.
Dia mengatakan dalam kesempatan ini ingin menyampaikan Ethos atau dalam hal ini etis. Etis menurutnya adalah hubungan relasi baik antara individu dan individu, disebuah ruang, kelompok bahkan sebuah negara. Relasi setiap orang diruang manapun menurutnya terdapat aturan-aturan.
“Berbicara aturan, pada zaman klasik seseorang tunduk dengan aturan yang dikehendaki oleh diluar dirinya atau pada teosentris,” tuturnya.
Dalam negara klasik, aturan dikuasai oleh subjek yang merupakan representasi dari tuhan atau raja. Masyarakat dalam negara klasik tidak pernah mengatur apa itu kebenaran, kebahagiaan dan keindahan. Ini relasi pertama dalam sejarah. Raja adalah legislatif, edukatif, yudikatif.
“Sementara dalam negara modern, setiap warga negara adalah subjek yang memiliki hak untuk menyalurkan pikirannya terhadap perumusan kebijakan melalui perwakilannya atau pemerintah,” jelas dia.
Dalam alam demokrasi, lanjut dia, suara pikiran merupakan yang penting. Demokrasi memungkinkan pikiran setiap warga negara bekerja dan disalurkan. Hal ini berbanding terbalik dengan sejarah negara klasik.
Diketahui, DialoKlasika Demokrasi Muka Dua akan dilangsungkan selama dua bulan dengan berbagai tema menyangkut demokrasi. Sebelumnya DialoKlasika membahas seputar Oligarki. (sandika)





Leave a Reply